Prihal Optimisme Kaitannya Adalah Kedudukan Akal

    Optical Illusions via http://3.bp.blogspot.com

Dunia realitas, kerap halnya kita dihadapan dua pilihan. Kadangkala kita ingin menjadi pribahasa optimisme, tidak dipungkiri sebaliknya kita akan menjadi pesimisme.

Bahasa yang penuh optimisme sangatlah penting. Latihlah diri anda untuk itu. Biasakanlah diri kita agar tidak pernah ada kata bernada pesimis yang keluar dari mulut kita, bagimanapun keadanya. Dan jangan pernah biarkan rasa pesimisme meniupkan racunya dalam diri anda.

Hal demikian, kata pesimisme adalah hal yang serupa untuk menjadi praktis. Itu berarti kedudukan akal tidak menemukan cinta kesempurnaanya? karna keadaanya akal harus kehilangan kata sabar, hingga ia menskenariokan dirinya jadi pesimis.

Mungkin kita pinjam  metode keraguan, Descartes  yang mengeluarkan semua isi pengetahuan tersebut dan berupaya memeriksanya satu-persatu untuk memastikan mana salah satu di antara pengetahuan tersebut yang paling pasti, atau bahkan tidak ada yang pasti.

Mencoba memahami dalam optimisme demikian, Descartes memeriksa relasi kausalitas antara dirinya yang mengetahui dan entitas lain yang diketahui.

Kaitanya itu, kita akan mendiskusikan prihal hati yang mula-mulanya hati itu adalah realitas yang halus. Namun demikian berubah-ubah dari satu keadaan ke keadaanya yang lain, ia dinamakan hati karena perubahan-perubahan seperti dalam doa para sufi"Wahai Yang Menguasai Hati Yang Bolak-Balik".

Prihal hati kita sepakatkan sebagai pusat eksistensi dan makna. Keseimbangan jiwa manusia berpusat pada keseimbangan dalam hatinya. Dan dari keseimbangan inilah manusia dengan hatinya bisa memaknai hidupnya.

Dari mana optimisme itu datang? Adakah sumbernya? Untuk menjelaskan pertanyaan ini, Descartes menggunakan penjelasan kausalitas (sebab-akibat). Bahwa sebuah optimisme merupakan akibat dari realitas atau hal-hal di luar manusia. Pengetahuan terjadi karena ada yang menyebabkan yaitu alam yang dapat diketahui. 

Lalu pertanyaannya dapatkah akibat, dalam hal ini hati, berdiri sendiri tanpa sebab. Mampukah ide-ide mewujud tanpa realitas (sebagai sebab)? Andaikata sebab tak memiliki realitas bagaimana ia mewujudkan akibat? Dua pertanyaan ini membuat Descartes menyimpulkan bahwa sebab haruslah memiliki realitas.

Sebab lebih sempurna ketimbang akibat, karena sejatinya sesuatu mewujud (mengada) dari sesuatu yang lebih sempurna dan bukan sebaliknya. Begitu juga dengan ide-ide optimisme sejauh dipahami sebagai akibat dari realitas objektif.

Bersambung........
 

Post a Comment

Previous Post Next Post